RELEVANSI PENDAPAT ALI AL-SHALLABI TENTANG PEMISAHAN KEKUASAAN DALAM DAULAH AL-ISLAMIYAH DENGAN KONSEP TRIASPOLITIKA DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Abstract
Pemisahan kekuasaan dalam konteks daulah al-Islamiyyah memiliki hubungan dengan konsep triaspolitika yang berlaku di Negara Republik Indonesia terutama pandangan Ali Al-Shallabi. Untuk itu, rumusan masalah penelitian yang diajukan adalah bagaimana pendapat Ali Al-Shallabi tentang konsep Daulah Islamiyah dan asas-asas pendiriannya dan bagaimana relevansi pendapat Ali Al-Shallabi dengan konsep triaspolitika dalam Negara Republik Indonesia. Metode penelitian dalam tulisan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan jenis library research. Data penelitian diperoleh dari bahan kepustakaan, yang dikategorisasi dalam tiga bahan yaitu primer (pokok), sekunder (pendudung) dan bahan tersier (pelengkap). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ali Al-Shallabi memahami Daulah Al-Islamiyyah atau negara Islam sebagai pemerintahan yang dibangun di atas prinsip Islam antara akidah dan syariah. Untuk itu, hukum mendirikan daulah Islamiyah ialah wajib karena sebagai perantara dalam menyempurnakan ajaran Islam. Asas-asas pendiriannya dibangun dengan empat pilar utama yaitu adanya sistem hukum syar’i, ada wilayah hukum, ada penguasa yang shalih, dan adanya rakyat. Sistem hukum dalam daulah Islamiyah merujuk pada Alquran dan hadis, dan dijelaskan dalam ijtihad ulama. Pendapat Al-Shallabi relevan dengan konsep triaspolitika di Indonesia memisahkan tiga poros kekuasaan sebagaimana gagasan Montesquieu. Ali Al-Shallabi juga berpendapat pemisahan kekuasaan menjadi tiga kekuasaan, tujuannya sebagai penyeimbang, pengawasan, serta menghindari dari kerusakan. Ditemukan adanya perbedaan yang mendasar antara kedua konsep yang digagas oleh Ali Al-Shallabi dengan konsep triaspolitika di Indonesia. Sistem di Indonesia adalah sistem hukum yang dibangun merujuk kepada UUD 1945 yang diperinci kembali dalam undang-undang, artinya tidak berdasakan sistem Islam. Adapun pendapat Al-Shallabi, pemisahan kekuasaan menjadi saltah tanfiziyah, saltah al-tasyri’iyah, dan saltah al-qadha’iyah dijalankan dengan tugas tertentu yang tetap merujuk pada konstitusi utama berupa Alquran dan hadis. Kekuasaan dan otoritas paling tinggi tetap berada pada otoritas Tuhan
References
Abdul Qadir Audah, Al-Islam wa Audha’uha Al-Siyasiyyah, (Beirut: Dar Al-Kutb, 1991), hlm. 81.
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, (Terj: Sri Murniati), (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 68.
Abi Al-Hasan Al-Mawardi, Adab Al-Dunya Wa Al-Din, (Terj: Jamaluddin), (Tangerang: Alifia Books, 2020), hlm. 190-191.
Akram Kassab, Al-Manhāj Al-Da’wī ‘inda Al-Qaraḍāwī, (Terj: Muhyiddin Mas Rida), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), hlm. 5.
Ali Al-Shallabi, Al-Muwathanah Wa Al-Wathan Fi Al-Dawlah Al-Hadisah Al-Muslimah, Kairo: Dar Al-Manhaj, 2014.
Copyright (c) 2023 Soraya Bunga Karmila Anwar, Faisal, Nurul Fithria
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.